Malam itu. Di sebuah warung kopi.
"Mau pesan apa?" Kata si lelaki.
"Teh manis hangat saja." Jawab si perempuan.
-
-
-
"Jadi, apa yang mau dibicarakan?" Laki-laki itu membuka pembicaraan setelah teh manis dan kopinya tiba.
Hening...
"Aku masih sayang kamu, Ri."
"Aku juga. Tapi bagaimana dengan perasaan ibuku? Sudah kubilang, Ziara, balikan itu gampang, tapi ngejalaninnya yang susah. Jagan egois, Zi!"
Ziara terdiam.
"Ibuku sudah menganggapmu sebagai wanita tidak baik. Kamu tahu, sekarang kamu tidak baik di matanya."
Ziara masih terdiam.
"Kenapa baru sekarang kamu datang dan memintaku kembali disaat semuanya sudah berubah? Disaat kamu sudah puas menikmati dunia luar, kamu baru datang sekarang? Kenapa, Zi?! Ke mana saja kamu dulu? Asal kamu tau, dulu aku nunggu kamu, tapi tak pernah datang. Aku kecewa."
Ziara tak kuasa menahan air matanya.
"Ya, aku tau keluargamu tidak menyukaiku. Tapi aku sudah berubah. Aku tidak mabuk-mabukkan lagi. Tolong, Ri... Tolong izinkan aku dekat lagi dengan ibumu, dengan keluargamu."
"Silahkan. Aku tak pernah keberatan."
"Tolong bantu aku agar aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku ingin seperti dulu."
Fachri hanya tersenyum.
"Sudah dini hari, sebaiknya kita pulang. Kamu mau tidur di mana?"
"Di rumah teman."
"Menggagalkan pulang ke Bandung, hanya untuk bicara ini saja. Kamu tidak pernah berubah, Ziara. Selalu memaksakan kehendak." Fachri berdecak kecewa.
"Boleh aku meminta sesuatu lagi?" Pinta Ziara.
"Tentu."
"Aku mau nunggu kamu, Ri. Aku mau menunggu kamu sampai kapanpun."
Fachri tersenyum...
untuk yang terakhir kalinya.
Malam itu, hanya tersisa ampas kopi, teh manis yang sudah dingin, dan... pinta seorang perempuan yang belum terwujud.
Selasa, 10 Februari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar