Sabtu malam. Tidak terlalu dingin namun hati terasa menggigil. Ada cemas dalam dada. Ada takut yang mengutuk. Resah. Aku benar-benar resah. Tidak bisa dibiarkan lagi. Akupun memintamu datang kesini. Untuk sekedar menghatkan malam.
Kamu terlihat lelah sekali malam itu. Inginku hapuskan lelahmu dengan pelukan.Tapi hatiku masih menggigil, tak mampu memeluk. Kita hanya saling bertatap. Kamu menatapku dengan nanar. Entahlah apa yang kamu pikirkan. Yang jelas aku takut dengan tatapanmu. Ada air yg menggenang dipelupuk mataku. Aku makin ketakutan. Aku benci kamu yang terus menatapku seperti lawan, mematikanku habis-habisan. Aku bosan dengan jarak yang selalu menghalangi pertemuan kita. Aku lelah menunggu waktu yang membatasi kebersamaan kita. Lalu hujan turun deras di mataku. Tak ingin terlihat lemah, aku berusaha menghentikan tangisku. Rahangku mengatup kuat. Nafasku ku atur agar tak berisak, namun terasa sesak. Aku melihat lagit sebentar. Ternyata purnama sedang mengintip kami diam-diam. Indah.. Lalu aku melihat matamu lagi. Sekarang tatapanmu berubah lebih hangat. Kamu menang, sayang.
Dengan lembut, kamu membelai mahkota di kepalaku yang sengaja ku gerai dan ku percantik sebelum kamu datang. Akhirnya kamu menyentuhku. Dan aku telah terselimuti. Tak menggigil lagi.
Kecupan mendarat dengan hati-hati di bibirku. Tidak lama, namun berulang-ulang kali.
Pukul sebelas malam.
Malam sudah terlalu malam bagi anak perempuan yang dikunjungi kekasihya. Kamupun berpamitan untuk pulang. Seperti seharusnya, kamu kecup pipi, kening, serta bibirku sebagai tanda pamit. Kita akan bertemu tiga minggu lagi, sayang. Di pertemuan berikutnya, aku tak mau ada tatapan nanar lagi. Kita harus saling menghangatkan.
Minggu, 22 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar